Social Icons

Jumat, 17 November 2017

Swarnadwipa - Vilda Sintadela

#Ulasan2017



"Rakata, apa emasmu?" tanya ayahnya
"Emasku.. belum ketemu. Masih terkubur dalam tanah"
Rakata Argaptaja tokoh utama dalam buku ini, dia bekerja di salah satu perusahaan tambang ternama di Indonesia. Namun sepeninggal ibunya dalam kecelakaan dan seminggu kemudian disusul ayahnya membuatnya sosok Rakata menjadi sedikit emosional. Ia menyesal saat ibunya meminta untuk pulang ke rumah, tetapi ia tidak mengiyakan bujukan ibunya tersebut. Namun malah kabar duka lah yang membuat ia pulang dan melihat tubuh ibunya sudah terbujur kaku, sedangkan ayahnya dalam keadaan koma. Setelah sepeninggal kedua orang tuanya, Rakata memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam perpustakaan milik ayahnya. Disana sudah berjejer rapi buku - buku milik ayahnya dan jurnal - jurnal ayahnya, yang notabene adalah seorang peneliti gunung berapi.

Rakata memilih untuk resign dari pekerjaannya, demi menemukan emasnya. Namun namanya sudah terkenal jelek di mata Gill, atasannya di GMR karna perwatakannya yang pembangkang dan tak sejalan dengan pemikiran Gill, sedangkan Rakata memang sudah lama ingin keluar dari pekerjaannya. Meskipun selama 2 tahun sepeninggal ayahnya ia menahan dan mencoba bermuka dua di mata Gill. Keputusannya sudah bulat, ia juga sudah menyiapkan uang ganti rugi yang akan diberikan ke GMR karna telah melanggar kontrak yang sudah ia sepakati. Agung sahabat Rakata di tempat kerjanya sudah mencoba membunjuknya untuk membatalkan keputusannya dan tetep melanjutkan kariernya. Bukan Rakata kalau tidak melakukan apa yang sudah pernah ia katakan. Keputusan sudah bulat dan ia harus menemukan emasnya dalam perjalanan mengikuti nama - nama tempat yang sudah ditulis dalam jurnal milik ayahnya.

Dalam perjalanannya meninggalkan Pematangsiantar ia bertemu dengan Arung dan Timur. Rakata sendiri masih bingumg menjawab pertanyaan Arung yang menanyakan ia hendak pergi kemana? Tanpa pikir panjang Rakata meminta kepada Arung untuk ia dapat ikut dengannya menuju Lembah Harau. Arung dan Timur setuju dengan permintaan Rakata. Arung dan Timur merupakan yatim piatu yang tinggal bersama Abak Aji sebagai pengganti orang tuanya. Meskipun Arung dan Timur setuju, namun beda halnya dengan Abak Aji. Mereka sampai di rumah Abak Haji saat sudah larut. Abak Haji memang orang yang disiplin, setiap hari harus bangun jam 3 pagi untuk menunggu waktu subuh dan tepat pukul 9 malam harus sudah masuk rumah untuk tidur. Selama di Lembah Harau banyak hal yang didapatkan Rakata, dari yang harus membaca sebait ayat dan harus dibaca dengan benar. "Bacalah dengan ketidaktahuan" Itulah kalimat yang Abak Aji katakan pada Rakata.

Perjalanan Rakata berlanjut menuju G.Kerinci, gunung tertinggi di tanah Sumatra. Sesampainya ia di basecamp pendakian ia bertemu dengan Andes, salah seorang temannya saat di perkuliahan. Mereka berdua melakukan pendakian keesokan harinya, bukan hal yang mudah untuk mendaki gunung. Sejak kecil Rakata memang mempunyai permasalahan pada organ pernapasannya, sehingga saat napasnya berdecit ia harus segera menghirup inhaller untuk memulihkan nya. Rakata sebelumnya tak ada rencana sedikitpun untuk mendaki Kerinci, karna memang ia sudah tau dimana kelemahannya. Namun Abak Aji pernah bilang jika kamu ingin mengetahui seperti apa dirimu, mendakilah gunung. Hal inilah yang menjadikan alasan Rakata sudah sampai disini. Keduanya kemudian bercerita alasan mereka datang kemari. Andes yang merasa sebagai lelaki Minang tidak berani untuk merantau, sedangkan Rakata dengan karir dan pekerjaan yang justru diinginkan oleh banyak orang malah memilih untuk meninggalkan segala kemewahan yang dimilikinya.

Saat melakukan pendakian tubuh Rakata memang tidak dalam kondisi sehat, ia tetep memaksa untuk terus melanjutkan perjalanan, sedangkan raut wajah Andes tersirat begitu mengkhawatirkan kondisi Rakata. Andes tak ingin Rakata mati konyol disini. Namun Rakata berhasil meyakinkan Andes untuk mereka tetap melanjutkan perjalanan, meskipun cuaca sedang tak bersahabat. Kerinci memang terkenal dengan cuaca yang tak bisa diprediksi, bisa saja terjadi hujan secara tiba - tiba, dengan medan yang dilalui juga terbilang sulit. Mereka memutuskan untuk mendirikan tenda dan beristirahat sebelum besok dini hari menuju puncak. Badan Rakata terbujur kaku dan ia terus mengigau dan memanggil - manggil nama ibunya, Andes paniknya bukan kepalang. Ya Rakata kena hipotermia, penyakit mematikan untuk para pendaki.

Lantas apakah Rakata dapat pulih dari kondisi hipotermianya dan melanjutkan perjalanan menuju puncak Kerinci? atau perjalanannya terhenti sampai disini dan bahkan ia belum menemukan apa emasnya?
Dalam buku ini kita belajar bukan untuk mencari, tetapi bagaimana untuk menjadi.

"Kau tak perlu mencari tujuan lain, karena tak ada tujuan yang lain. Satu - satunya yang harus kau cari adalah keyakinan dan petunjuk arah untuk melangkah. Dengan itu semua perbekalanmu akan bermanfaat, punggungmu akan kuat. Dan ingat satu hal, waktumu tak banyak." (Hal.194)

"....keyakinan tidak bisa didapat dengan menduga - duga. Keyakinan muncul karena kejelasan dalam melihat dan berfikir. Keyakinan muncul, karena jernihnya akal dan terbukanya hati."(Hal.209)

"Pacangkanlah keyakinanmu seperti gunung yang menjulang kuat ke bawah tanah, berhatilah seperti seekor burung yanh senantiasa bertawakal kepada Rabb-nya, dan hiduplah seperti seekor lebah yang senang menebar manfaat ke mana pun sayapnya membawa."(Hal.222)






--o--


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates