Hepi tokoh utama dalam buku ini, ia merupakan pemuda bujang yang tinggal di Ibu Kota. Hidupnya mulai berubah ketika ayahnya, Martiaz memutuskan untuk menitipkan Hepi pada kakek dan neneknya di ranah Minang. Martiaz merasa sudah gagal mendidik Hepi, maka dari itu ia memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya dan hendak menitipkan Hepi kepada ayahnya. Sebenarnya itu hal tersulit yang pernah dilakukan Martiaz, ia merasa kejam telah meninggalkan Hepi, tapi ia juga tak punya pilihan lain, jika Hepi dibiarkan terus - menerus hidup di Ibu Kota, entah akan jadi apa ia kelak.
Hepi pun awalnya senang, karna ia bisa merasakan mudik alias pulang kampung yang sudah lama ia idam - idamkan. Namun ada raut kecewa dan juga dendam ketika ia tau ayahnya sendiri meninggalkannya. Ia merasa sudah ditelantarkan, sudah cukup ditinggal Ibunya saat ia masih kecil dan sekarang ayahnya sendiripun sudi meninggalkannya. Hepi marah sejadi - jadinya dan ia bertekad untuk kembali ke Jakarta dengan usaha serta jerih payahnya sendiri.
Hal yang harus dilakukan ia sekarang adalah mengumpulkan uang sebanyak - banyaknya untuk membeli tiket pesawat ke Jakarta dan juga sebagai ajang pembuktiannya pada ayahnya, bahwa itu semua merupakan jerih payahnya sendiri. Selama hidup di tempat rantau Hepi bersahabat dengan Attar dan Zen si pencinta binatang. Mereka berdua lah yang membantu Hepi bekerja mencuci piring di lapak Mak Tuo Ros, meskipun hasilnya tak seberapa. Hepi tetap berusaha supaya tabungan nya cukup untuk ia membeli tiket kembali ke Jakarta.
Hingga suatu ketika surau yang menjadi tepat tinggalnya selama renovasi rumah kakeknya dijarah maling entah dari mana asalnya, sound system dan kotak amal raib, bahkan sebagian perhiasan nenek Hepi juga digasat habis, tak ketinggalan celengan bambu Hepi juga ikut raib dijarah maling. Hepi sedihnya bukan kepalang, tinggal hitungan beberapa puluh ribu lagi tabungannya akan cukup untuk ia membeli tiket pesawat. Ia pun bertekad untuk menangkap maling dengan tangannya sendiri. Akhirnya ia menemukan ide yang cukup brilian yaitu meminjam kambing milik keluarga Zen untuk dijadikan umpan menangkap para maling ini.
Lantas apakah usaha dan jebakan dari Hepi, Attar dan juga Zen berhasil? atau justru kedua kambingnya ikut raib dijarah maling?
kalau mau tau kelanjutannya langsung baca aja bukunya hehehe
Dalam buku ini kita belajar bahwa dari rasa dendam dan benci itu sebenarnya adalah alasan kita untuk menutupi rasa yang sebenarnya, yaitu rasa rindu. Janganlah kau simpan rasa dendammu sampai jauh kelubuk hatimu, cobalah untuk memaafkan dan mengikhlaskan.
"Biarlah aku menjadi lilin, membakar diri sendiri agar orang punya cahaya terang"
"Bagaimana sedih dan merasa terbuang itu melelahkan. Bagaimana terlalu berharap pada manusia dan makhluk itu mengecewakan. Jadi, kalau merasa ditinggalkan, jangan sedih. Kita akan selalu ditemani dan ditemukan oleh yang lebih penting dari semua ini. Resapkan ini: kita tak akan ditinggalkan Tuhan. Jangan takut sewaktu menjadi orang terbuang. Takutlah pada kita yang membuang waktu. Kita tidak dibuang, kita yang merasa dibuang. Kita tidak ditinggalkan, kita yang merasa ditinggalkan. Ini hanya soal bagaimana kita memberi terjemahan pada nasib kita" (Hal. 255 - 256)
"Hidup kita hidup yang khianat, kalau hanya memikirkan diri sendiri. Khianat kepada misi kemanusiaan" (Hal. 304)
-----o-----